Di dalam dunia yang kompetitif ini, kita cenderung lebih mementingkan hal-hal yang dapat diukur dengan prestasi dan penghasilan. Tak heran jika hampir setiap hari kita bergelut dengan stres, meski faktanya stres akan merugikan tubuh. Berbagai studi menunjukkan stres terkait dengan berbagai penyakit orang modern, seperti jantung, tekanan darah tinggi, stroke, kanker, dan penyakit lain, termasuk impotensi.
Dalam riset terbaru ditunjukkan saat stres sistem saraf simpatetik akan mengeluarkan gelombang norepinephrine, yang merupakan respon melawan atau menghindar (flight or fight). Sementara itu bagian otak pituitari akan melepaskan hormon kortisol yang membanjiri aliran darah.
Pada dasarnya respon stres ini bertujuan untuk membuat kita siaga. Saat merasakan ada bahaya akan datang, misalnya ada mobil akan menabrak, tubuh akan melepaskan hormon stres sehingga kita lebih siaga, lebih gesit dan memiliki reaksi cepat sehingga kita bisa menghindar dari bahaya.
Tetapi tubuh tidak bisa membedakan ancaman fisik dan mental. Respon tubuh pada stres itu tidak banyak berguna saat kita mengalami tekanan mental. Sehingga saat kita panik dikejar deadline, reaksi tubuh akan sama seperti saat kita akan tertabrak mobil itu. Bila terjadi terus menerus, hal ini akan mulai menimbulkan masalah.
"Pada semua makhluk di planet ini, stres adalah krisis jangka pendek dengan respon menghadapi atau menghindarinya. Namun sebagai manusia saat kita duduk kita juga sedang didera oleh berbagai hal yang menimbulkan stres dan ini berlangsung hampir setiap hari," kata Robert Sapolsky, ahli neurologi dan penulis buku Why Zebras Dont Get Ulcers ini.
Ketika sistem tubuh terus menerus menghadapi reaksi stres yang timbul-hilang berulang kali, terkadang sistem kontrol menjadi tak terkendali.
"Sistem regulasi tubuh menjadi rusak. Pada awalnya hal ini akan membuat orang menjadi super reaktif pada insiden stres, tetapi terkadang setelah sekian lama sistem saraf menjadi kelelahan dan tidak mampu memberi respon dengan baik lagi," kata Nim Tottenham, psikolog.
Itu sebabnya "tentara" penjaga sistem imun menjadi lemah, sehingga virus atau bakteri dapat menyerang tubuh tanpa perlawanan.
Dalam riset terbaru ditunjukkan saat stres sistem saraf simpatetik akan mengeluarkan gelombang norepinephrine, yang merupakan respon melawan atau menghindar (flight or fight). Sementara itu bagian otak pituitari akan melepaskan hormon kortisol yang membanjiri aliran darah.
Pada dasarnya respon stres ini bertujuan untuk membuat kita siaga. Saat merasakan ada bahaya akan datang, misalnya ada mobil akan menabrak, tubuh akan melepaskan hormon stres sehingga kita lebih siaga, lebih gesit dan memiliki reaksi cepat sehingga kita bisa menghindar dari bahaya.
Tetapi tubuh tidak bisa membedakan ancaman fisik dan mental. Respon tubuh pada stres itu tidak banyak berguna saat kita mengalami tekanan mental. Sehingga saat kita panik dikejar deadline, reaksi tubuh akan sama seperti saat kita akan tertabrak mobil itu. Bila terjadi terus menerus, hal ini akan mulai menimbulkan masalah.
"Pada semua makhluk di planet ini, stres adalah krisis jangka pendek dengan respon menghadapi atau menghindarinya. Namun sebagai manusia saat kita duduk kita juga sedang didera oleh berbagai hal yang menimbulkan stres dan ini berlangsung hampir setiap hari," kata Robert Sapolsky, ahli neurologi dan penulis buku Why Zebras Dont Get Ulcers ini.
Ketika sistem tubuh terus menerus menghadapi reaksi stres yang timbul-hilang berulang kali, terkadang sistem kontrol menjadi tak terkendali.
"Sistem regulasi tubuh menjadi rusak. Pada awalnya hal ini akan membuat orang menjadi super reaktif pada insiden stres, tetapi terkadang setelah sekian lama sistem saraf menjadi kelelahan dan tidak mampu memberi respon dengan baik lagi," kata Nim Tottenham, psikolog.
Itu sebabnya "tentara" penjaga sistem imun menjadi lemah, sehingga virus atau bakteri dapat menyerang tubuh tanpa perlawanan.
0 comments:
Post a Comment